Labels

Main Menu

Labels

Pages

Featured 1

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Selasa, 25 Desember 2012

Sejarah Tahlil

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN. ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH. Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan. Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil. Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati. Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya. Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.*1 Musyawarah Para Wali*2 Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman. Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut : "Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah"?. Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : "Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga" Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut "Manunggaling Kaula Gusti" yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan. Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari'at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu. Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional. Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : "Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat". Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang. Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini. Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka. Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna. Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua. Na'udzu billahi mindzalik Daftar Literatur 1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma'arif Bandung 1979 2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979 3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974 4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977 5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961 6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu. 7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975

Rabu, 25 Januari 2012

REKONTRUKSI PEMIKIRAN

OLEH : Fatigon N.

Pendahuluan

Upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an, tampaknya, tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sejarah telah mencatat berbagai upaya tengah dilakukan para pemikir untuk memberikan solusi terhadap berbagai problem kemanusiaan tersebut: kemiskinan, peperangan, penindasan, dan bahkan dekadensi moral.

Dalam konteks ini, Fazlur Rahman[1] hadir dengan tawaran metodologis bagaimana al-Qur’an sebaiknya dipahami sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selalu aktual dan relevan dengan isu-isu dan problem yang dihadapi. Pertanyaan kemudian, apa tawaran metodologi tersebut?. Sejauhmana metodologi yang digunakannya mempengaruhi Rahman dalam memahami beberapa konsep al-Qur’an tentang relasi antara Tuhan, manusia, dan alam? Bagaimana pula pandangannya tentang tawhid, ijtihad, syari’ah, al-Sunnah, dan bahkan gagasannya mengenai pembaharuan?. Beberapa pertanyaan di atas yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.



Pembahasan

A. Metodologi Fazlur Rahman

Metodologi Rahman dalam memahami Islam, dalam hal ini al-Qur`an, adalah metodologi historis. Yang dimaksud metode historis adalah suatu upaya serius, kritis, dan mendalam dalam memahami pesan-pesan al-Qur`an,[2] dengan mempertimbangkan faktor eksternal: factor sosiologis, politis, dan geografis, di samping faktor internal yaitu pesan ‘inheren’, terkandung dalam teks suci al-Qur`an.

 Istilah metodologi ‘historis’ digunakan untuk mempermudah dalam mempetakan dan mensistematisasikan sebuah bangunan teoritis suatu pemikiran yang di dalam kategori sosial sering kali dibedakan dengan istilah ‘normatif’. Kedua istilah tadi lazim digunakan untuk melihat sebuah metodologi yang digunakan seorang pemikir dalam mengkaji obyek yang ditelitinya. Setidaknya, Rahmanlah yang cukup bersemangat menganjurkan para penstudi—khususnya para penstudi Islam—baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan di luar Islam untuk menggunakan metode historis tersebut. Ia mengatakan”…maka, tugas utama mereka yang paling mendasar adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur`an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya.”[3] Taufik Adnan Amal  mengatakan:

“Metode inilah yang ditemukan Rahman dalam beberapa karya intelektualnya. Dan metodologi ini pulalah yang menjadi ciri pembeda antara neo-modernisme dan modernisme klasik. Lebih lanjut Rahman menyajikan bahwa metodologi yang ditawarkannya itu dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang sewenang-wenang dan liar.[4]



Bagi Rahman, pendekatan historis adalah suatu keharusan, karena jika al-Qur`an atau teks suci dipandang secara ‘normatif’ an-sich, justru akan menghilangkan makna `universal’ Islam. Islam yang dipandang ‘normatif’ dan apa adanya—dalam arti sudah dianggap selesai dan given—akan nampak sangat sempit, tidak aktual, dan bahkan akan cenderung tertinggal zaman. Memang al-Qur`an secara ‘normatif’, dalam arti teksnya, tidak berubah dan tidak akan mengalami perubahan. Tetapi, dalam arti ‘historis’, pada level teknis aplikasi dan realisasi dari makna yang terkandung dalam kitab tersebut sangatlah mungkin berubah atau bahkan harus senantiasa dilakukan reinterpretasi dan reaktualisasi .Karenanya, pintu ijtihad akan tampak selalu terbuka. Ijtihad harus selalu dilakukan. Siapapun boleh berijtihad.[5]

Pada aspek metodologi ini, nampaknya, Rahman tidak dapat terlepas sama sekali dari pengaruh pemikiran filsafat Barat modern, dalam hal ini hermeneutika Gadamer, strukturalismenya Claude Levi Strauss, atau bahkan para pemikir strukturalisme lainnya: Michel Foucault dan Jeques Derrida.

Sebuah contoh yang cukup transparan bahwa Rahman dipengaruhi oleh Hermeneutika Gadamer misalnya, antara lain adalah bahwa ia, pada aspek metodologinya dalam memahami teks al-Qur`an, selalu mempertimbangkan aspek historis: sosial-ekonomi dan sosial-politis, geografis, dan sejarah, untuk kemudian tafsir tersebut disesuaikan dengan konteks zamannya.

Beberapa aspek di atas kerapkali dijadikan bahan pertimbangan oleh Rahman guna memahami (understanding) dan menafsirkan (interpreting) ayat al-Qur`an. Bahkan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek di atas, menurut Rahman, penafsiran menjadi tidak mungkin. Sebuah ayat akan sangat sulit “berbunyi” dan dapat dipahami secara penuh makna. Sementara di dalam hermeneutika yang paling terkenal, lebih spesifik pada Gadamer adalah metode “diakronik”nya.[6] di mana faktor historis, berupa latar belakang sosial-ekonomi dan politis, juga seting sejarah kapan dan di mana ayat atau teks itu diturunkan, menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan sebuah interprestasi.

Menurut Rahman, seringkali faktor-faktor tadi terabaikan, atau malah dipandang sama sekali tidak penting. Fenomena ini tidak jarang terjadi di kalangan ulama klasik. Misalnya, penafsiran begitu tampak mengarah kepada kecenderungan tertentu: teologis, sufistis, dan normatif-formalistik.

Karenanya, pada saat yang sama—terkadang—sebuah tafsir tampak kaku dan kering—jika tidak dapat disebut ‘tidak rasional’. Karenanya, Rahman mengajukan suatu pendekatan historis, yang menurutnya akan selalu relevan di manapun dan kapanpun.



Namun, tentu saja Rahman tidak sepenuhnya mengadopsi metode yang ditawarkan Gadamer. Satu hal yang mempengaruhi sikapnya adalah ia begitu yakin dan percaya bahwa al-Qur`an itu kitab suci, dari Tuhan. Sedangkan pada kitab suci lain, seperti Injil, sebagaimana yang menjadi pembahasan para hermeneutis seperti Gadamer, yang menjadi pengarang kitab atau teks (the author) adalah murid-murid Isa. Karena itu Rahman di sini, tidak mempermasalahkan Tuhan sebagai the Author.

Sementara itu, di dalam tradisi Hermeneutika, dalam hal ini Gadamer, secara umum berbicara soal teks, pembuat teks (author), dan bagaimana menafsirkan teks (bagi interpreter). Misalnya Gadamer berpendapat bahwa seorang interpreter tidak mungkin-samasekali-terlepas dari apa yang ia sebut sebagai “prasangka” (prejudical). Disadari atau tidak, ia sudah memiliki pemahaman awal (pre-understanding) sebelum ia memahami sebuah teks. Inilah yang disebut sebagai “lingkaran hermeneutik” (hermeneutic circle). Karena itu bagi Gadamer “pemahaman adalah prasangka” seperti tulis Josef Bleisher:

“…..Gadamer builds on both Heidiger’s exposition of the fore-structure of understanding and Bultmann’s stress on pre-understanding in that the former is concretized and the latter is widenned into the conception of prejudices which constitute a given horizon of understanding. All understanding is prejudical, says Gadamer, and invests a great deal of thought into the rehabitation of a concepts that acquaired its negative connotation with the enlightmen”.[7]



Kemungkinan adanya bias strukturalisme pada metodologi Rahman adalah pada bagaimana Rahman memandang sebuah tradisi. Bagi Rahman, tradisi tidak sama dengan tradisionalisme.Tradisi tidak harus selalu merujuk kepada, atau dalam arti yang sempit, segala yang telah dilakukan Nabi (perilaku Nabi). Dengan kata lain Sunnah itu sendiri. Tetapi, tradisi bagi Rahman lebih merupakan suatu dinamika yang senantiasa hidup pada setiap masa dan tempat di mana komunitas manusia berada. Dalam arti ini maka setiap bangsa memiliki tradisi sendiri-sendiri. Pada konteks ini Rahman berbicara bagaimana sebuah pembaharuan dimulai lewat tradisi. Di sini tidak lalu berarti kembali belakang secara tidak kritis, menjiplak atau menelannya mentah-mentah apa yang dicontohkan Nabi pada masanya. Karenanya, sekalipun hal ini yang terjadi--hendak mencontoh secara tidak kritis-- bagi Rahman, bukanlah lalu berarti kita lebih taat dan lebih konsisten  kepada tradisi (al-Sunnah), melainkan tindakan itu sesungguhnya kembali kepada ‘tradisionalisme’.[8]

Rahman melihat bahwa fakta ini telah melanda sebagian besar dunia Islam dan kaum muslimin, terutama golongan konservatif yang cenderung eksklusif dan tidak toleran. Pada titik ini nampaknya Rahman telah meminjam kerangka dan pendekatan strukturalisme, bahwa di dalam masyarakat, manusia tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut tradisi.Tradisi merupakan sebuah struktur yang ada dalam masyarakat sebagai representasi dari—di antaranya--mitos. Karenanya muncullah ritus atau ritual. Ritual dilakukan oleh masyarakat tertentu dari masyarakat primitif sampai masyarakat yang sudah modern sekalipun, guna menghadirkan apa yang mereka anggap sebagai yang mengatasi mereka (the supreme) atau dengan kata lain, Tuhan. Meskipun tentu bentuk ritual satu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Namun, pada tingkat filosofis dan teoritisnya adalah sama. Tradisi inilah yang kemudian mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap lingkungan dan pola hidupnya yang kemudian mengkristal menjadi budaya. Karena itu, setiap masyarakat akan mempertahankan tradisinya. Sikap inilah kemudian disebut ‘tradisionalisme’. Karenanya ‘tradisionalisme’ harus diwaspadai terutama sekali ketika seseorang mencoba menangkap pesan al-Qur`an.

Rahman juga dipengaruhi oleh para pemikir pos-strukturalis dan pos-modernis seperti Foucault dan Derrida.Yang dipinjam Rahman dari Derrida yaitu metode dekonstruksinya. Sekalipun demikian, Rahman tidak berhenti sampai di sini. Rahman melangkah lebih jauh kepada rekonstruksi (membangun kembali) bangunan pemikiran yang telah didekonstruksinya. Sebut saja misalnya pada bagaimana cara menafsirkan Al-Qur`an, ia telah mencoba dengan metodologi ini.

Khazanah pemikiran klasik, sebagai langkah awal, dilihatnya dengan menempatkan pada konteksnya. Apabila masih relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, maka Rahman hanya menyempurnakannya.Tetapi, jika dalam pandangannya sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini, maka Rahman merekonstruksi penafsiran tadi. Hal ini telah dilakukannya saat ia berada di Pakistan. Pada saat itu Rahman menjabat sebagai direktur pusat penelitian Islam di Karachi. Upaya itu ternyata telah menyebabkannya pindah ke Chicago. Ia mendapat perlawanan yang tidak sehat dari ulama dan oknum penguasa menentang pendapatnya tentang bunga bank yang dipandangnya bukan riba, juga pendapatnya tentang sembelihan binatang dengan mesin.[9]

Pada aspek metodologi, Rahman memberikan tawaran-tawaran, terutama pada metodologi tafsir. Ia memberikan semacam panduan praktis bagaimana menafsirkan al-Qur`an secara tepat, atau setidaknya mendekati makna yang sebenarnya yang dimaksud dalam ayat tersebut. Berikut penulis kutip dari tulisan Rahman yang dimuat dalam “Islamika”, jurnal dialog Pemikiran Islam, no.2 Edisi Oktober-Desember 1993 pada rubrik ”Artikel Utama” berjudul “Gagalnya Modernisme Islam”:

“…suatu metodologi yang seksama untuk memahami dan menafsirkan al-Qur`an harus digunakan . (a) suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur`an. Aspek metafisis dari ajaran al-Qur`an mungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis, tetapi bagian sosiologisnya pasti menyediakan dirinya. Pertama-tama al-Qur`an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu yang paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukap akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam, sebagaimana yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan institusi-institusi yang dibangun belakangan. Dan demikianlah seorang harus mengikuti bentangan al-Qur`an sepanjang karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan banyak menyelamatkan kita dari ekstravagansa dan arti fisialiotas penafsiran-penafsiran al-Qur`an kalangan modernis. Di samping menetapkan makna rincian –rinciannya, metode ini juga akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari pesan al-Qur`an dalam suatu cara sistematis dan koheren”. (b) kemudian seorang siap untuk membedakan antara ketetapan-ketetapan legal al-Qur`an dan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuan.Yang ketetapan-ketetapan legal ini diharapkan mengabdi kepadanya. Di sini sekali lagi seorang berhadapan dengan bahaya subyektifitas, tetapi hal ini juga dapat direduksi hingga tingkat minimum dengan menggunakan al-Qur`an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan oleh golongan non-muslim maupun kaum muslim sendiri bahwa al-Qur`an biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya. Kesaksian dua orang wanita berfungsi sebagai pengganti kesaksian seorang laki-laki, mengapa? “Agar supaya wanita yang satu  dapat mengingatkan wanita yang lainnya, jika ia melupakannya” (QS.2:282). Ini merupakan suatu komentar yang jelas tentang latar belakang sosiologis Arabia pada masa nabi dan merupakan suatu desakan bahwa kesaksian yang benar harus dikemukakan sejauh mungkin. Apakah imperatif ini sebegitu sulitnya untuk diterapkan, sehingga kaum muslim merasa sebegitu kesulitan. (c) Sasaran-sasaran al-Quran harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar belakang sosiologisnya yakni lingkungan di mana nabi bergerak dan bekerja. Hal ini akan mengakhiri penafsiran-penafsiran al-Qur`an yang subyektif baik oleh kalangan musafir abad pertengahan atau pun modern, meskipun penafsirran-penafsiran ini tampak koheren dalam dirinya. Orang seperti Tuan Ghulam Ahmad Parwez misalnya, bisa saja secara sistematis melahirkan dari al-Qur`an doktrin yang berciri komunis dan menggunakan semua peralatan yang dianggap cocok baginya.Tetapi suatu pendekatan historis-sosiologis akan membongkar kekeliruan-kekeliruannya. Jika seseorang dibatasi untuk tidak menyertakan obsesi-obsesi pribadinya dalam al-Qur`an, maka pendekatan semacam ini akan sangat bermanfaat dan kami yakin merupakan harapan nyata satu-satunya bagi suatu penafsiran al-Qur`an yang berhasil dewasa ini. Betapa pun dalam suatu pengertian makroskopis (sebagaimana yang bertentangan dengan perbedaan-perbedaan detil), seluruh penafsiran dan pendekatan terhadap kebenaran adalah subyektif dan hal ini tak dapat dihilangkan. Setiap pendapat memiliki suatu sudut pandang, dan tidak ada bahayanya dalam hal ini asalkan sudut pandang tidak mendistorsi obyek pandangan dan juga terbuka bagi visi orang-orang yang memandangnya. Bahkan perbedaan pendapat yang dihasilkannya adalah sehat, asal saja pendapat-pendapat tersbut masuk akal.[10]



B. Tuhan, Manusia, dan Alam.

Sebelum berbicara lebih jauh berkaitan dengan konsep Metafisika Fazlur Rahman, khususnya berkaitan pada tiga persoalan: Tuhan, manusia, dan alam, penulis ingin menggaris bawahi bahwa elaborasi Rahman dalam hal tiga persolan di atas bertitik tolak dari al-Qur`an. Konsep Tuhan seperti dinyatakan di dalam al-Qur`an bagi Rahman pada dasarnya semata-mata adalah fungsional.[11] Yakni Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan[12].

Berangkat dari landasan di atas, hemat penulis, kita dapat mengambil gagasan Rahman tentang Tuhan yang kemudian mewarnai berbagai pandangannya yang lain. Dengan kata lain, pandangan Rahman tentang Tuhan selanjutnya dapat berimplikasi pada bagaimana Rahman melihat segala fenomena di ala mini. Dalam pandangannya, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dan alam raya ini. Tuhan telah menjadikan alam dengan seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar baginya bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum) sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan manusia,[13] melainkan segala ketentuan yang ada pada  alam ini, terutama  benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan karakteristik dan sifat khusus padanya. Karakteristik dan sifat itulah yang merupakan amar Tuhan terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam adalah Islam, karena ia tunduk dan patuh terhadap amar Tuhan. Amar Tuhan itulah yang kemudian menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula, al-Qur`an mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan.[14]

Tuhan menciptakan alam semesta ini bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan tujuanNya itu lewat ciptaanNya dan misiNya. Tujaunnya adalah kebaikan. Pada titik ini, hemat penulis, Rahman percaya setidaknya menerima yang disebut dalam terminologi filsafat agama sebagai argumen teologis. Argumen ini menyatakan bahwa alam memiliki tujuan. Alam mengarah kepada suatu tujuan yang lebih tinggi yakni kebaikan.[15] Argumen ini sejalan dengan argumen lain yakni argumen moral. Argumen ini diajukan  Immanuel Kant, seorang ilmuan juga filosof kenamaan asal Jerman.

Tuhan berfungsi sebagai makrokosmos (alam besar), sedangkan manusia berfungsi sebagai mikrokosmos (alam kecil). Di sini Tuhan yang makrokosmos meliputi manusia yang mikrokosmos. Dialah Tuhan yang meliputi segala realitas yang ada di alam ini. Di dalam al-Qur`an disebutkan, salah satunya, bahwaTuhan memiliki sifat meliputi (al-Muhith). Dia memiliki segala sifat kebaikan, penolong, bagi kaum muslim yang tertindas dan mengalami kesusahan. Penyayang, bagi kaum muslimin yang taat terhadap perintahNya. Pengasih, pemberi perlindungan, pendidik, dan lain-lain. Semuanya mencerminkan Tuhan yang berfungsi sebagai tertentu seperti disebut di atas. Term al-Muhith seringkali ditafsirkan sebagai yang panteistik. Misalnya Ibn al-Arabi mengumpamakan Tuhan dengan cahaya matahari dalam menjelaskan hubungan keterkaitan antara Tuhan dan Alam.

Sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara mutlak, hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam terhadap pengesaan Tuhan, keagunganNya, kemuliaanNya, dan lain-lain.[16] Akan tetapi, lanjut Rahman, gambaran semacam ini tidak muncul dari al-Qur`an, melainkan dari perkembangan teologi Islam belakangan.[17] Tentu saja imanensi Tuhan ini sedikit pun tidak berarti perbuatan-perbuatn yang dilakukan oleh alam atau manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan: Tuhan bukanlah saingan atau pengganti bagi manusia atau  agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek, dan Dia tidak pula campur tangan dalam proses kerja mereka.[18] Hukum alam adalah bagian dari perilakuNya (sunnah).[19]

Dari beberapa pernyataan dan logika berpikirnya, Rahman dapat digolongkan kepada orang yang percaya kepada hukum alam, hukum sebab-akibat. Bahwa alam memiliki hukumnya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan secara langsung. Tuhan hanya berhubungan dengan alam dalam arti hanya sebatas hukum-hukumnya. Senada dengan ini, Ibnu Sina, misalnya, berpendapat bahwa Tuhan hanya berhubungan dengan akal pertama dan Tuhan tidak berhubungan dengan alam materi yang dihasilkan akal ke sepuluh.[20]

Sedangkan manusia diciptakan Tuhan degan maksud turut merealisir tujuanNya yang mulia tadi, tujuan kebaikan. Manusia sebagaimana disinyalir al-Qur`an memiliki dua kutub ekstrim yang saling berlawanan. Kutub pertama adalah kesombongan. Karena manusia memiliki kemampuan dibandingkan makhluk lain. Kutub kedua adalah keputusasaan. Pada kutub pertama manusia bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya lewat potensi yang diberikan Tuhan. Manusi berhak dan bebas menentukan pilihannya. Dari sini manusia sering berlaku sombong dan angkuh. Akibat keangkuhan dan kesombongannya, akhirnya manusia jatuh pada kutub kedua yakni keputusasaan  dan akhirnya ia tidak merasa berharga sama sekali. Kutub pertma akan menghasilkan optimisme yang boleh jadi berlebihan, sedangkan kutub kedua menghasilkan sikap pesimis yang juga berlebihan. Sikap optimisme yang berlebihan pada akhirnya melahirkan sikap sombong dan angkuh, sedangkan sikap merusak diri, putus asa, keluh kesah, adalah titik balik dari sikap optimisme berlebihan. Kedua kutub saling berlawanan ini digambarkan oleh al-Qur`an dengan “setan”. kedua kutub ini merupakan titik kufr, hidup tanpa harapan dan hidup yang tanpa kerendahan hati.[21]

Di sinilah al-Qur`an berperan. Al-Qur`an diturunkan dengan tujuannya yang utama adalah menciptakan dan mempertahankan sikap tengah di antara dua ekstrim ini dalam diri manusia.

Di samping manusia diberi tugas dalam rangka keseluruhan dari penciptaanNya, ia juga dituntut agar selalu patuh kepada Tuhan. Di sini Tuhan memberikan daya intelegensi yang tionggi kepada manusia. Dengan akal manusia membedakan yang baik dan yang buruk. Karena itu Tuhan memberikan derajat yang paling tinggi kepada manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Di antara makhluk, manusialah yang dilengkapi dengan moral. Karena itu manusia, dalam hidupnya, penuh dengan perjuangan, baik perjuangan untuk merealisasikan tujuan penciptaan Tuhan-- hubungannya dengan alam, maupun pada level pribadi. Yaitu bagaimana manusia dituntut untuk  berjuang, secara psikologis mempertahankan dirinya agar tidak terjerumus kepada kedua kutub ekstrim di atas. Maka Tuhan, dalam arti fungsional, sangat dibutuhkan. Dalam rangka pemenuhan hasrat psikologis, hemat penulis, al-Qur`an seringkali menegaskan, misalnya, “jika kalian menolong Tuhan, maka niscaya Tuhan akan menjadi penolongmu”[22], “Tuhan beserta orang-orang yang sabar”[23], berdoalah kepadaKu, niscaya aku jawab (kabulkan) doamu”[24] dan lain-lain.

Jadi hubungan Tuhan, manusia, dan alam pada metafisika Rahman tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan yang jelas adalah bahwa manusia diberi tugas oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta ini dengan tujuan kebaikan dan kesempurnaan dari seluruh rencana Tuhan dan keseluruhan penciptaannya. Hubungan dengan Tuhan bahwa manusia merupakan sebagian dariNya, dalam arti bahwa Tuhan telah meniupkan ruhNya kedalam diri manusia.[25] Namun, Tuhan tetap menjadi makrokosmos (alam besar) dan manusia adalah mikrokosmos (alam kecil). Alam kecil ini senantiasa berhubungan secara spiritual dengan alam besar, setidaknya pada level filosofis. Karena itu, manusia harus meniru Tuhan di dalam segala sikapnya, mewujudkan kebaikan-kebaikan. Tugas ini, suka atau pun tidak suka, harus  dipikulnyaa. Manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khafilah fi al-ard). Hubungan manusia dengan alam adalah bahwa manusia memanfaatkan alam demi terciptanya kebaikan-kebaikan itu dan dalam rangka beribadah kepadaNya. Rahman menyebut hal demikian sebagai ‘amr’ atau perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Jadi alam berfungsi sebagai fasilitas dalam rangka tujuan tadi. Dengan demikian dalam Islam manusia menjadi “pengelola”, bukan “eksploitato” seperti pada weltanchaung barat. Demikian Rahman





C. Imanensi Tauhid

  Berangkat dari konsepsi metafisik, pandangannya mengenai tauhid jelas tidak dapat dinafikan begitu saja. Bagi Rahman Tauhid tidak hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, tapi juga berbicara tentang bagaimana manusia berperilaku dan bertindak. Manusia merupakan cermin dari Tuhan atau khalifah Tuhan di bumi, karena itu ia harus mewujudkan misiNya di bumi. Ketika ia melakukan interaksi dengan orang lain, maka unsur Tuhan serta nilai-nilai teologis harus dijabarkan. Pandangan ini amat berpengaruh pada pemahamannya tentang etika sosial. Sebagai konsekuensinya, maka jika seseorang merasa lebih tinggi atau lebih hebat, lalu ia dapat melakukan tindakan apa saja terhadap orang lain, adalah pandangan  keliru. Sebab di sisi Tuhanlah manusia boleh dan bahkan harus patuh dan tunduk. Makna dari ketundukan dan kepasrahan inilah yang disebut al-Islam. Hal ini menjadi inti ajaran Agama Islam. Selain itu, sikap tunduk kepada Tuhan dalam wujudnya yang lebih nyata adalah memahami, meneliti, dan kemudian melestarikan alam yang dilengkapi dengan hukumnya.

Di sini Rahman mengidealkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, kedamaian, serta perilaku masyarakat yang dilandasi nilai-nilai moral yang tinggi-- dalam hal ini nilai-nilai tauhid sebagaimana ditunjukkan al-Qur`an.[26] Baginya, nilai-nilai universal yang menjadi pesan al-Qur`an itu hendaknya menjadi acuan dan basis etis sebuah masyarakat. Karena itu, seluruh manusia tanpa dibatasi oleh atribut tertentu: golongan, suku bangsa, ras, bahasa dan lain-lain, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan universal itu: “keadilan”, “kebaikan”, “persamaan”, (merasa sama satu sama lain, tidak merasa lebih tinggi, lebih super dan lain sebagainya), kejujuran dan lain-lain.

Makna universalitas yang ditafsirkan Rahman, nampak berbeda dengan golonan muslim tradisionalis ketika memandang Islam yang universal itu. Muslim tradisionalis selalu merujuk kepada apa yang telah dilakukan nabi dan para sahabatnya ketika berada di Madinah, yakni dalam bentuk seperangkat aturan formalistik. Artinya apa yang telah dipraktikkan nabi dan para sahabat pada zamannya dicoba diterapkan pada masa kini dengan, seringkali, tanpa kompromi. Makna universal di sini bagi Rahman tidaklah demikian adanya. Baginya, makna universal dalam Islam harus disesuaikan dengan kondisi di mana konsep dan gagasan itu hendak diterapkan. Dalam hal ini tidaklah lalu berarti pengikisan nilai-nilai transenden yang terdapat di dalam sebuah kitab suci. Rahman tampak yakin betul bahwa makna al-Qur`an tidaklah dapat diambil atau diwujudkan dengan cara yang pertama tadi. Jadi bagi Rahman—lagi-lagi karena pengaruh dari metodologi historisnya—semangat al-Qu`an itulah yang terpenting. Karena al-Qur`an, atau sebut saja Tuhan, tidak mungkin menurunkan suatu aturan untuk manusia tanpa tujuan tertentu. Karena tentu jika al-Quran turun dengan tidak membawa pesan dan maksud tertentu, perbuatan Tuhan menjadi sia-sia (‘abatsan), sedangkan jelas Tuhan sendiri menyatakan dalam firmannya, bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi dan juga segala ciptaannya yang lain dengan sungguh-sunggh dan tidak main-main. Diciptakan seekor nyamuk yang kecil dan rendah sekalipun.

Dengan sikap tauhid yang dinamis ini, maka jelas manusia akan hidup optimis, tanpa berlebihan. Sikap optimis demukian dapat melahirkan sikap rendah hati dan tidak mudah berputus asa. Karena itu, seseorang akan berada pada jalan tengah dan terhindar dari dua kutub ekstrim seperti pada konsep metafisiknya pada wal tulisan ini. Karena dua kutub ekstrim itulah yang menyebabkan manusia jatuh pada “kekufuran”.

Di dalam konsep tauhid ini, Rahman mengidealkan terciptanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis demi mewujudkan dan merealisasikan tujuan dari penciptaan ini (alhikmah). Landasan tauhid ini menjadi dasar dan prinsip universalitas Islam yang kemudian sangat berpengruh pada prinsip ijtihad Rahman.

Selain itu, banyak ayat al-Qur`an yang senada dengan semangat persatuan, egalitarianisme, dan keadilan sosial. Hal ini mengandaikan Islam menerima-- sekalipun secara rinci tidak dijelasksn—gagasan dan ide demokrasi. Ide demokrasi ini pun telah diisyaratkan (implied) al-Qur`an. Sebagai indikator misalnya, beberapa ayat menyebut tentang musyawarah (syura`), perintah berlaku adil terhadap siapa saja, bahkan terhadap musuh atau orang yang sangat kita benci sekalipun. Nah, jelaslah kesatuan (tawhid) bagi Rahman bukanlah semata-mata bagaimana manusia memahami Tuhan itu Esa, melainkan lebih jauh dari itu juga harus berimplikasi positif dan responsif pada persoalan sosial dan politik serta dapat menjawab berbagai problem kemanusiaan lainnya. Karena itu ‘kedilan’, demokrasi, egalitarianisme, keterbukaan dan sebagainya, harus menjadi bagian dari, dan berada di bawah pancaran Tauhid. Dengan demikian maka segala tindakan manusia selalu berada pada koridor dan rel tauhid sehingga, nilai-nilai ilahiah dapat dimanifestasikan dalam kehidupan seorang muslim. Inilah yang menjadi salah satu misi musia sebagai khalifah Tuhan di bumi.



D. Dinamika Ijtihad

 Pernyataan the gate of ijtihad (fresh thinking) in Islam was closed[27] bagi Rahman adalah suatu arbitrer yang seringkali dilihat dengan ‘tanpa kritis’, dari dan siapa yang membuat pernyataan itu. Hal itu tampak tidak begitu bermasalah pada masyarakat muslim. Padahal, pernyataan tersabut tidak lain hasil sementara dari sebuah proses sejarah yang belum selesai. Namun, hal ini seringkali dinilai sebagai suatu yang sudah “given”, apa adanya, dan tidak perlu diutak-atik dan apalagi, dikritik.

Bagi Rahman Ijtihad masih harus selalu dilakukan. Pintu Ijtihad masih terbuka. Ijtihad tidak hanya dilakukan oleh orang pada umumnya, atau orang biasa, bahkan Ijtihad adalah suatu keharusan (a necessity) untuk atau bagi Nabi sekalipun.[28] Pada level individu atau pada level kelompok. Ijtihad dalam pandangan Fazlur Rahman tidah hanya terbatas pada persoalan hukum (fiqh), tetapi pada berbagai bidang disiplin dan dari berbagai segi dalam Islam. Seperti—selain fiqh--dalam teologi atau kalam, filsafat, dan bahkan dalam tasawuf. Semangat Ijtihad selalu tersirat- -di samping yang tersurat- -di daalam beberapa ayat Al-Qur’an. Hal ini diperlukan dengan asumsi dasar Rahman, bahwa pada setiap masa tertentu, atau bangsa tertentu semuanya memiliki tradisi. Karena itu, tudak tertutup kemungkinan tradisi tersebut telah banyak mewarnai, atau setidaknya menjadi bahan pertimbangan para mujtahid dalam melakukan tugasnya, berijtihad. Sementara tradisi di suatu tempat boleh jadi sangat tidak relevan untuk diterpkan di daerah dimana seseorang akan menerapkan hasil ijtihadnya, atau boleh jadi bertentangan secara diametral, karena “sunnah” dibentuk atau paling tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Tapi kemudian sering kali kalangan ulama tradisional memandangnya sebagai yang “baku” dan “mapan”. Padahal, disadari atau tidak, hal ini merupakan hasil dan produksi sejarah pada masa tertentu. Maka dari itu, lagi-lagi di sini ijtihad memperlihatkan signifikansinya. Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang mujtahid adalah sikap murni dan tulus, dalam usahanya untuk memperoleh suatu kebenaran yang akan didapatnya. Sikap tulus inilah yang akan menjaga manusia dari ijtihad yang liar. Prasangka yang tidak baik, bahkan kepentingan individu atau kelompok di sini harus di tinggalkan.

Dalam konteks ini Rahman sangat menyayangkan ketika ia mengamati gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum Wahabi. Rahman menilai meskipun “Wahabiah” melakukan pembaharuan tetapi hanya pada bidang tertentu saja, yaitu bidang akidah atau tauhid, pun dalam arti yang sangat sempit. Karena itu bercorak puritan. Memang Wahabiah, yang saat itu terjadi di Arabia, India, dan Afrika, mengumandangkan ijtihad, tetapi pada saat yang sama mencurigai “intelektualisme”. Kecurigaan terhadap intelektualisme ini bukan hanya mencakup filsafat melainkan juga teologi spekulatif. Pula, wahabiah banyak dipengaruhi mazhab Hambali yang menjadi panutan Ibn-Abd Al-Wahab dan para pengikutnya.[29] Padahal, di dalam ijtihad mutlak diperlukan sikap kritis sebagai prasarat yang disertai intelektulisme yang memadai. Karena itu pembaruan yang dilakukan Wahabaih sangatlah sempit. Nah, hal ini, demikian lanjut Rahman, harus ditindak lanjuti. Pemaknaan terhadap “ijtihad” serta artikulasinya dalam bentuk praktis harus lebih diperluas lagi. Sehingga akan terlihat suatu dinamika perkembangan kearah yang yang lebih maju dan terbuka.

Sekali lagi bahwa Rahman begitu semangat dan antusias dengan ijtihad, karena dengan ijtihad yang lebih bebas itulah Islam memperoleh kemajuan dan puncak keemasan, seperti yang terjadi pada abad kedua Hijriah.

“…dengan lebih menggalakkan penggunaan penalaran bebas (ijtihad)daripada sekedar penalaran analogis berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak langsung ditangani oleh teks-teks Al-Qur’an dan Hadist, maka terbukalah pintu bagi kekuatan-kekuatan yang lebih liberal untuk menafsirkan teks-teks Al-Qur’an dan Hadist secara lebih bebas daripada yang diijinkan oleh prinsip penalaran logis yang dikembangkan oleh hukum-hukum zaman pertengahan”.[30]



Demikian Rahman melontarkan salah satu kritiknya terhadap fenomena perkembangan Islam abad pertengahan yang telah mengekang ijtihad begitu rupa.



E. Substansi Syari’ah

Syariah yang dimaksud adalah keseluruhan tatanan : hukum, teologi, filsafat, atau bahkan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an. Baik ajaran itu tersurat, seperti ayat-ayat tentang hukum, ibadah (shalat, puasa, zakat, haji) yang diatur lewat fiqih dalam teknis pelaksanaannya maupun tersirat, seluruhnya adalah bermuara pada tujuan tertinggi, kebaikan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.

Nah, di sini Rahman memandang syariat, secara keseluruhan, adalah undang-undang umat manusia.[31] Undang-undang inilah yang kemudian mewarnai pola perilaku muslim--pada level individu maupun kolektif--di dalam segala hal. Faham inilah yang juga mewarnai penaklukan Islam di luar Arab yang membedakannya dari ekspansi tribal yang lain. Pada titik ini Rahman mengkritik para orientalisme atau sebut saja “islamolog” barat yang--dengan kerangka metodologi historisnya--menuduh Islam sebagai pihak yang telah menyebarkan peperangan, ekspansi wilayah, dan sebagainya yang disebarkan lewat pedang. Rahaman di sini tidak sependapat dengan cara pandang barat yang pejorative terhadap Islam. Sementara mereka (para oreintalis) telah menaruh prasangka yang kurang positif terhadap Islam bahkan sebelum mereka melakukan studi dan penelitiannya.

Argumentasi Rahman di sini pun tidak kalah kuatnya. Misalnya mengapa dalam Islam “ekspansi” atau perluasan wilayah kekuasaan dalam Islam, perbendaharaan kata arab, menggunakan kata “fatah” (bentuk noun dari kata kerja f-t-h) yang artinya pembukaan”, seperti Fath Makkah, fath al-andalus, fath Mishr, dan lain-lain. Di sini tidak hanya, atau setidaknya disebabakan keterbatasan perbendaharaan kata (al-mufradat) bahasa Arab, tetapi justru pada kata Al-fath terkandung muatan kultural Arab yang sangat dalam dan positif. Dibedakan pula dengan istilah isti’mar yang secara harpiah berarti juga “ekspansi” atau “penjajahan”. Kedua istilah itu memiliki makna yang sangat berbeda pada implikasi atau penerapannya. Persoalan semantik ini hemat penulis tidak perlu dipermasalahkan, tetapi yang terpenting justru pada analisis historisnya. Para penstudi (barat) di sini sering tidak atau kurang keritis.  Hal ini tentu bukan tanpa sebab, setidaknya kepentingan imperialisme yang telah terbukti dalam sejarah. Pada poin ini Rahman ingin mengatakan bahwa kehadiran Islam benar-benar untuk dan milik seluruh umat manusia (rahmatan li al-,alamin). Karenanya syari’ah menjadi penting sejauh tidak dilepaskan dari tujuan Syari’ah itu sendiri (maqashid al-Syari’ah)—“hikmah penciptaan” dalam istilah  filsafat Islam. Di sini nampak sekali pengaruh pandangan metafisiknya. Dengan kata lain bagi Rahman substansi (substance) lebih penting ketimbang bentuk (form)—meminjam istilah Aristoteles. Tentu saja yang dimaksudkan bukanlah bentuk itu tidak berguna sama sekali, melainkan justru saling melengkapi.

Berangkat dari konsepsi syari’ah semacam ini, jelaslah Rahman mengidealkan suatu Negara “muslim”. Negara muslim yang dimaksud bukanlah suatu Negara secara formal menggunakan idiologi Islam—meminjam istilah Ali Syari’ati—sebagai dasar negaranya, melainkan Negara muslim yang dimaksud Rahman adalah suatu Negara yang masyarakatnya, dengan penuh penghayatan dan keimanan, merealisasikan nilai-nilai luhur Islam: keadilan, persatuan (egalitarianisme), persamaan hak (equity), dan demokrasi—untuk menyebut di antaaanya.—yang secara substansi terdapat di dalam Islam. Adapun teknis pelaksanaannya hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Di sini tampak sekali pemahaman Rahman yang secara konsisiten berangkat dari pandangan metafisisnya tentang Tuhan, alam, dan manusia. Manusia

sebagai awakil Tuhan di bumi berkewajiban merealisasikan tujuan Tuhan. Sedangkan pada sisi lain adalah pendekatan historisnya yang menyebabkan Rahman kemudian digolongkan –meminjam kategorisasi Syfii Anwar—termasuk golongan “substansialis” atau “substantivistik”.[32]

Dengan demikian bagi Rahman bagaimana bentuk Negara, siapa yang harus menjadi kepala Negara, bagaimana mekanisme pemerintahan di jalankan, dan sebagainya—sejauh itu menyangkut persoalan teknis dan mekanis adalah bukan yang utama dan bukan hal yang pokok. Yang terpenting disini bagaimana nilai-nilai luhur Islam, seperti digariskan dalam Al-qur’an dapat direalisasikan. Karena itu bentuk formal Negara Islam bagi Rahman tidak cukup signifikan, tidak terlalu penting. Nilai-nilai yang luhur itulah yang dinamakan syariah yang harus ditegakkan oleh seluruh umat manusia. Persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, adalah persoalan keduniawian yang oleh Islam diserahkan sepenuhnya kepada kita. Bahkan nabi sendiri pernah menyatakan--meskipun orang boleh berbeda pendapat mengenai konteks mengapa Hadist itu muncul—“Anda lebih tahu tentang urusan duniawi” (antum a’lamu bi amri dunyakum).[33]

Hemat penulis pada konteks ini Rahman nampaknya setuju dengan sekularisasi, bahwa memang di dalam Islam ada persoalan yang sakral tetapi ada pula persoalan yang profan, yang masing-masing harus diletakkan pada posisinya secara tepat.

Secara sederhana penulis mengambil kesimpulan sementara, Rahman di sini (dalam memandang syariah) berangkat dari—semacam paradigmanya yang khas—apa yang seringkali dia sebut sebagai ‘pesan Al-Qur`an’ dan atau ‘semangat al-Qur`an’[34], untuk merujuk kepada misi dan tujuan al-Qur’an diturunkan.



F. Sunnah Historis dan Sunnah Teknis

Rahman membagi sunnah kepada dua bagian : pertama sunnah historis, kedua, sunnah teknis. Sunnah historis berbentuk biografi, yakni biografi Nabi, sedangkan sunnah teknis berbentuk hadist.[35]

Menurut Rahman sunnah historislah yang merupakan fakta sejarah yang dapat—setidaknya mendekati--untuk dikatakan netral. Karena sunnah historis ini segala tindakan dan perilaku Nabi yang aktual. Dengan kata lain, sunnah historis adalah perilaku konkrit Nabi. Bagi Rahman segala yang terekam dalam al-Quran, merupakan sunnah Nabi dalam arti pertama, yakni sunnah historis. Sedangkan sunnah teknis ditulis oleh para sahabat Nabi. Kemungkinan pada sunnah teknis ini terdapat problem.

Pertama, para sahabat yang menulis Hadist Nabi tidak selamanya bersama-sama  Nabi atau bahkan tidak pernah bertemu Nabi atau menyaksikan Nabi dalam bertindak secara langsung. Atau bahkan para sahabat dituntut untuk faham dengan sebenarnya maksud dari suatu Hadist atau makna dari tindakan Nabi. Karena itu, pada kasus yang sama, seringkali terjadi perbedaan--sekalipun tidak prinsip  --antara perawi satu dengan perawi lainnya.

Kedua, adanya peralihan dari tradisi lisan (verbal) yang aktif--di mana situasi sosial seringkali tergambar dalam tidakan dan perilaku—ke tradisi tulisan (literal). Pada tradisi tulisan sebuah fakta akan tampak ‘mati’ dan pasif.[36]  

Sebagai contoh, fenomena Umar masuk Islam hanya karena, meskipun mungkin salah satu sebab saja, mendengar adik kandungnya sendiri mengumandangkan ayat tertentu dari al-Qur’an. Umar yang pertama menjadi musuh Islam yang ganas, berubah secara sporadis (konversi) menjadi pengikut Nabi yang taat. Bahkan menjadi barisan depan kaum muslimin ketika itu dalam menghadapi musuh-musuhnya, kafir quraish Makkah.

Maka tepat sekali Rahman mengajukan suatu metode kritis dan historis untuk hadist-hadist Nabi. Bahkan Rahman nampaknya begitu tinggi menghargai akal, sehingga apapun yang sekiranya tidak dapat diterima secara akal, atau tidak rasional, ia tolak. Disini pula terlihat Rahman begitu konsisten dengan metodologinya yang dipegangnya.



G. Refleksi Pembaharuan

 Pikiran-pikiran Rahman cukup komprehensif. Didalam melihat sebuah perjalanan pembaharuan dalam Islam rahman membuat tahapan-tahapan (semacam pemetaan) sebagai berikut. Ia membagi dialektika perkembangan kepada empat bagian :

Pertama adalah gerakan revivalisme promodernis yang muncul pada abad ke 18 dan 19 di Atabia, India, dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan barat ini memperlihatkan cirri-ciri umum antara lain: 1) Keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi terhadap sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya. 2) Himbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan takhyul-takhyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufusme popular. Meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad. 3) Himbauan untuk mengenyahkan corak predeter ministik; dan 4) Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan ini lewat kekuatan bersenjata (ijtihad) jika perlu.

Dasar pembaruan revivalisme pramoderinisme kemudian diambil alih oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 dibawah pengaruh ide-ide barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap “isi” ijtihad—seperti hubungan antara akal dan wahyu, status wanita, serta pembaharuan politik, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang refresentatif serta konstitusional—lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat barat. Usaha modernisme klasik dalam menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam melalui sumber Al-qur’an dan Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan didasarkan pada Al-qur’an dan “sunnah historis” (yakni biografi Nabi) sebagaimana dibedakan dengan “sunnah teknis” (yakni yang terdapat didalam Hadist-hadist). Mereka pada umumnya skeptis terhadap hadist, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Modernisme klasik telah memberikan pengaruh terhadap gerakan ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, seperti dalam mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekan bentuk pendidikan yang relatif telah dimodernisasi. Bahkan gerakan ketiga ini mendasari dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari barat, maka neorevivalisme merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernisme klasik; tapi sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apa pun untuk menegaskan posisinya, selain berusaha membedakan Islam dari Barat.

Di bawah pengaruh neo-revivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya, neo-modernisme muncul. Dan Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk ne-rorevivalisme. Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara semi implisit terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena perannya selaku reformis terhadap masyarakat muslim dan sekaligus sebagai kontroversialis-apologetik terhadap barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan interprestasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, serta menyebabkannya menangani secara ad-hoc beberapa masalah penting di barat—misalnya demokrasi dan status wanita. Kelemahan ke dua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah di dan bagi dunia barat, sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa mereka telah terbaratkan serta merupakan agen-agen westernisasi.[37]





 Penutup

Dari uraian di atas setidaknya kita dapat menarik dua kesimpulan:

Pertama, ‘metode historis’ yang ditawarkan rahman amat urgen dan relevan dengan tuntutan zaman dan perkembangan pola pikir manusia. Melalui metode ini makna dan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sekaligus dapat mereduksi subyektifitas penafsir.

Kedua, pengaruh hermeneutika pada pemikirannya tampak begitu kental. Indikasinya dapat kita lihat misalnya bagaimana Rahman memberikan elaborasi yang rasional, penuh nuansa, dan begitu mencerahkan terhadap beberapa persoalan : Tuhan, manusia, al-Sunnah, tawhid, ijtihad dan sebagainya. Dari sini tampaklah kepiawaian Rahman sebagai seorang pemikir Islam yang kerap menghembuskan angin segar bagi dinamika perkembangan pemikiran Islam itu sendiri. Dengan demikian misi Islam sebagai rahmatan lil’alamin bukan mustahil untuk diwujudkan.

 Wallahu alam