Labels

Main Menu

Labels

Pages

Rabu, 24 Agustus 2011

Gerakan Mahasiswa


Gejala postmodernisasi idealisme (mantan) aktivis pergerakan mahasiswa
Idealisme !!! Itulah kata yang sepertinya tidak pernah lepas dari sosok mahasiswa, khususnya para aktivis mahasiswa, walaupun untuk kasus diatas terlepas dari makna tekstual aktivis mahasiswa.

Ibarat mesin, idealisme di mata para aktivis mahasiswa adalah sosok bahan bakar yang nantinya akan menjadi energi dalam menggerakkan roda perubahan. Mahasiswa sebagai mesin yang menggerakkan roda dengan idealisme sebagai bahan bakarnya. Yang menarik untuk dikaji adalah sejauh mana realitas perubahan tadi mengarah. Selain itu, menjadi topik yang tak kalah menariknya yaitu permasalahan yang terkait dengan konsistensi arah pergerakan.

Sejarah mencatat, bahwa arus perubahan yang dilancarkan oleh kaum mahasiswa biasanya dilatarbelakangi oleh adanya kejemuan sosial (dalam hal ini politik termasuk subordinatnya). Tragedi kemandulan dinamika sosial yang biasanya rakyat didudukkan sebagai obyek penderita, menjadikan para mahasiswa merasa perlu melakukan sebuah manuver evakuasi kolektif yang melibatkan seluruh infrastruktur yang ada. Kasus yang merepresentasikan kondisi tersebut adalah peran pergerakan mahasiswa dalam mengantarkan kepemimpinan orde baru yang selanjutnya menciptakan gerakan mahasiswa pro-orde baru (dimana banyak alumni gerakan mahasiswa waktu itu masuk dalam gerbong orde baru), serta gerakan penggulingan orde baru yang ternyata sampai saat ini lebih menunjukkan pluralitas idealisme mesin-mesin perubahan tersebut, walaupun dengan tidak menafikkan adanya golongan-golongan oportunis yang hanya sekedar menjadi komentator, atau bahkan makelar isu yang akhirnya mendudukkan mereka seolah-olah sebagai pahlawan perubahan.

Terkait dengan masalah konsistensi, sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa dinamika kondisi sosial politik menunjukkan adanya pola-pola progresivitas (atau bahkan agresivitas) pemikiran dan peran para mantan aktivis pergerakan tersebut. Kita tidak dapat memungkiri adanya diferensiasi peran sosial politik yang dimainkan oleh para mantan aktivis pergerakan tersebut. Hal ini lebih dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan sudut pandang pemikiran atas peran yang (pernah) dilakukan.

Saya tertarik meng-istilahkan para aktivis mahasiswa dalam dua kategori, yaitu pelopor perubahan dan aktor perubahan, walaupun dalam peran di lapangan tidak ada perbedaan secara fisikal.

Tidak ada suatu sistem yang berada dalam kondisi ideal, kecuali supra-sistem yang memiliki sifat kekal-abadi. Hal ini juga berlaku pada pola alur pergerakan mahasiswa yang mendudukkan para aktivis mahasiswa sebagai masinisnya. Ada yang harus kita cermati dan pahami, bahwa sosok aktivis mahasiswa adalah sesuatu yang juga tidak ideal. Banyak interference-interference yang memberikan warna dan karakter masing-masing. Sehingga dalam tataran praktis, kita dapat mengatakan bahwa diferensiasi pola-pola kiprah yang dilakukan oleh para aktivis mahasiswa tersebut tergantung dari sudut pandang mereka terkait dengan pemahaman eksistensi mereka sebagai peran aktivis mahasiswa. Kasus pertama, yaitu bagi mereka yang memandang aktivis mahasiswa sebagai pelopor perubahan. Disini, kita akan mendapatkan istilah pelopor sebagai representasi dari individu yang mempunyai, individu yang memulai, serta individu yang menjadi pelaku utama atas peran yang dilakukannya.

Mereka mengejawantahkan kepeloporan sebagai bentuk dari strategi rekayasa dan kapitalisasi peran, sehingga kemudian seringkali dikatakan sebagai politisi mahasiswa-mahasiswa politisi, yaitu aktivis mahasiswa yang benar-benar memiliki karakter sebagai seorang aktivis mahasiswa. Mereka inilah yang mengklaim sebagai tokoh-tokoh perubahan atau bahkan pahlawan-pahlawan perubahan yang kemudian lebih banyak bermuara di wilayah kebijakan publik (tidak hanya sebatas wilayah politik, tapi juga wilayah-wilayah lain yang memiliki kapasitas pengendali kebijakan publik secara massif).

Kasus kedua, yaitu para aktivis mahasiswa yang hanya memahami peran strategis mahasiswa secara kasuistik, yaitu saat mereka menjadi mahasiswa. Selanjutnya, ketika mereka lepas dari status mahasiswa, mereka lebih tertarik dengan mode adaptive yang menjunjung tinggi etika toleransi pribadi. Artinya, dimana garam bermuara, disanalah laut asin (walaupun sepertinya logika tersebut harus dibalik, CMIIW..). Itulah kemudian kita seringkali mengenal mereka sebagai kaum oportunis, yaitu mereka yang menjadikan status aktivis mahasiswa sebagai sebuah aktivitas proyek, bukan sebuah nilai pengabdian status.

Mereka inilah orang-orang yang mewarnai peran kemahasiswaannya dengan warna abu-abu, yaitu hitam tidak, putih pun juga tidak. Mereka mendudukkan peran strategis kemahasiswaannya secara temporer. Mereka tidak merasakan adanya karakter pergerakannya, hal ini biasanya terlihat dari munculnya dialektika aktivis penurut-pengabdi (sosok 'sendika dhawuh'). Mereka memerankan sosok perubahan, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki kecerdasan kognitif dan afektif yang utuh yang menjadikan pergerakannya mendapatkan rating cerdas dan berkarakter. Itulah kemudian mereka hanya menjadi aktor yang dalam waktu yang singkat mampu bergonta-ganti peran (apakah protogonis atau antagonis) sesuai dengan skrip arahan yang ada, yaitu berdasarkan nilai tawaran ekonomis yang lebih tinggi secara personal. Saya sangat sepakat sekali jika golongan ini disebut sebagai para pialang demokrasi, yaitu mereka yang melakukan komersialisasi kepentingan pribadi diatas kepentingan rakyat.

Secara eksplisit memang tidak ada perbedaan yang spesifik diantara kedua kasus diatas (untuk tataran teknis) dalam jangka waktu yang pendek. Kita hanya akan dapat membedakannya melalui pengamatan dalam tempo tertentu (tidak hanya panjang) yang disana terdiri dari klausa-klausa waktu yang berjalan secara sekuensial yang dipahami sebagai urutan sebab-akibat. Dua kondisi tersebut sebenarnya bukan kondisi yang baru, melainkan kondisi yang bisa dan biasa terjadi, tapi gejala ini saya rasakan memiliki frekuensi yang lebih tinggi di pasca-renaissance yang menjadikan manusia semakin lebih cerdik dan licik dalam melakukan sebuah rekayasa, dimana salah satu implikasi yang paling jelas untuk diamati adalah rekayasa sosial dengan dinamika terjadi secara unpredictable dan memiliki resiprositas lebih tinggi. Postmodernisasi idealisme pergerakan.

0 komentar

Posting Komentar