Labels

Main Menu

Labels

Pages

Rabu, 24 Agustus 2011

Kiai dan Plotik

Ketika Ustadz/Kiyai Menjadi Poli tikus dan Selebritis

Entah, sebenarnya mereka sadar atau tidak akan peran mereka sebagai model ditengah ”kejahilan” ummat sangant berpengaruh ketika media massa (TV) memaparkan akhlak mereka sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kecacatannya diperlihatkan media, umatpun menjadi bimbang, bingung karena tokoh yang mereka puji-puji selama ini, menjadi bahan menjadi ejekan mereka-mereka yang memang tidak menyukainya sejak awal ketenarannya dengan berbagai alasan tentunya.

Ustadz/Kiyai Berpolitik
Kita bisa lihat beberapa diantara mereka yang mencoba lahan yang satu ini, entah apa yang melandasinya, mungkin saja kemuliaan agama yang diusungnya, tapi bagaimana realitannya. Politik dikenal kotor, licik dan penuh intrik, sehingga ada pendapat yang mengatakan kalau anda ingin menjadi orang baik jauhilah dunia politik, meski penulis sendiri masih kurang sependapat. Ustadz/kiayi berpolitik, selama terpatri kuat dalam dirinya untuk berdakwah, menjadi penyejuk dan pewarna dominan dalam komunitas tersebut sehingga bisa merubah image komunitas ini, bisa menjadi sebuah keharusan. Tapi apa daya ustadz/kiyai juga manusia. Pernak pernik dan tipuan-tipuan halus yang samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam kotornya permainan. Berapa puluh orang kiya/ustadz yang ada diparlemen negeri ini? Lalu bagaimana pandangan kebanyakan rakyat Indonesia terhadap media ini? Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis. inikah warisan para nabi?

Ustadz/Kiyai Bak Selebritis
Jika kita mengamati seluk beluk ustadz/kiyai yang sadar atau tidak telah menjerumuskan diri dalam dunia selebritis, ketika media massa, televisi tumbuh bak jamur dimusim hujan boleh dikata sejaka era 90 an lah dan munculnya dai-dai yang menjadi seleb mulai merebak kira-kira tahun 2000anlah. Untuk mendobrak rating beberapa stasiun televisi menggelar acara pemilihan dai-dai bak idol-idolan versi Indonesia. Terlebih saat-saat ramadhan, terlihat sekali persaingan ketat antar stasiun televisi untuk menampilkan ustadz/kyiai yang ”populer” dengan predikat masing-masing, ada ustadz gaul, ustadz cinta, diantara merekapun ada yang menjadi iklan komersil produck-produk konsumtif, ketenaran dan popularitas yang menghapus idealitas. Walau kita juga bisa menyimak tayangan media tv ustadz/kiyai betulan yang memang secara tampil dengan pola academis bukan hiburan.

Demikian halnya bukanlah sesuatu yang terlarang jika ustadz/kiyai masuk dalam dunia selebritis, sekedar mewarnai dengan nilai-nilai Islami. Merubah gemerlap dunia ini menjadi lebih beradab. Tapi apa daya, sekali lagi ustadz/kiyai juga manusia, pernak pernik dan tipuan-tipuan halus lagi samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam buayan gemerlap permainan. Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis.

Ustadz/kiayi dalam pandangan masyarakat umum adalah tokoh yang ”suci”, padahal ia bukan ”nabi”, ia manusia biasa yang memang diberikan ”kelebihan” khusus atau karena memang kebetulan saja karena media telah mengangkatnya naik bak selebritis yang ”dipuja”, sehingga ’tarifnyapun mahal tak terjangkau kalangan yang terpinggirkan dari sisi ekonomi. Ketenaran telah membuat mereka lupa akan tugas sucinya sebagai warisan para Nabi. Nilai dakwah yang luhur dan non komersil setelah tenar menjadi komersil, mereka-mereka yang berduit berlomba memintanya menjadi ”penghibur” rasa haus akan nilai-nilai islam. Yang paling menyedihkan dikampung-kampung terpencil penduduk mengumpulkan patungan mengumpulkan uang, demi menghadirkan ustadz/kiyai yang menjadi idola dan pujaan, menyedihkan, inikah warisan para nabi?

Kesimpulan ada pada diri kita masing-masing, mudah-mudahan pesan ini tersampaikan pada kita semua yang sedang berperan dalam dakwah Islam, muliakan Islam bukan mempermalukan, tinggikan Islam bukan merendahkan. Terkadang kita tidak sadar bermaksud memuliakan malah mempermalukan, bermaksud meningikan malah merendahkan. Islam adalah zat pewarna, ia dapat mewarnai jika dituliskan padanya, tetapi tidak semua bahan dapat diwarnai olehnya, tergantung dari bahan apa media itu dibuat. Setelah kita terwarnai dapatkah warna itu mewarnai yang lain? By the way kita ini termasuk bahan yang dapat diwarnai atau tidak? Wallaahu a’lam

0 komentar

Posting Komentar